Seorang ibu adalah pendidik pertama dan terutama anak. Bagaimana mungkin anaknya bisa terdidik, jika ibunya tidak terdidik?
Setiap Malam Jumat, di daerah saya rutin mengadakan pengajian mingguan yang bertempat di sebuah Masjid. Malam Jumat kemari, saya mendapat pengalaman yang sangat luar biasa. Dimana penceramahnya berasal dari pimpinan sebuah pondok pesantren di daerah saya. Masyarakat pun duduk berjejer rapi sambil mendengarkan dengan khusyu apa yang disampaikan penceramah tersebut, tak terkecuali dengan saya. Saya mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan penceramah sambil sesekali mengangguk-ngangguk tanda mengerti. Karena sebelumnya saya pernah belajar di sebuah pondok pesantren. Tepat di samping saya, terdapat seorang pemuda pengurus masjid tersebut. Beliau aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, seperti ceramah, khotbah, pengajian ibu-ibu, dan lain sebagainya. Pemuda tersebut merupakan seorang santri lulusan pondok pesantren milik sang penceramah. Setelah selesai ceramah, seperti biasa penceramah menghampiri masyarakat yang sedang duduk berjejer rapi untuk bersalaman. Satu per satu masyarakat bersalaman, sampai pada akhirnya tiba giliran saya dan pemuda tersebut untuk bersalaman. Ketika giliran pemuda bersalaman dengan penceramah, penceramah pun menepuk pundak pemuda sambil mengucapkan, "Nak, Bapak bangga padamu!"
Mendengar ucapan penceramah tersebut, sontak saya kaget. Membuat hati ini terharu. Ingin rasanya diperlakukan seperti itu. Tak sadar mata ini mulai menangis sendu. Sampai saya teringat akan seorang guru saya saat MTs. Seorang guru yang sangat berperan besar dalam kehidupan saya. Panggil saja Bu Rita. Seorang Guru BK di MTsN 1 Tasikmalaya tempat saya menimba ilmu saat masa MTs. Sampai sekarang kami sering berkomunikasi via whatsapp. Karena teringat akan kisah antara seorang guru dan murid di sebuah pengajian tadi, saya menghubungi Bu Rita via whatsapp untuk meminta izin dibuatkan sebuah tulisan yang nantinya akan saya upload via blog pribadi. Penasaran? Begini ceritanya.
Ungkapan Ibu Kartini tersebut tampaknya mampu menjadi alarm bagi setiap calon ibu di dunia ini. Pendidikan adalah salah satu hal yang dapat menjamin seseorang untuk belajar mengenai banyak hal dan menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya, termasuk pendidikan konseling remaja.
Saat saya menjadi siswa baru di MTsN 1 Tasikmalaya, sudah beberapa kali melakukan sebuah kasus yang mengharuskan saya berhubungan dengan pihak BK. Saat itu saya benar-benar berada dalam kondisi yang tidak nyaman. Jauh dari orang tua. Lingkungan yang jauh berbeda dengan lingkungan asal daerah saya. Orang-orang baru yang satu sama lain berdeda karakter. Saat itu saya merasa tidak nyaman, ingin pindah, dan bawaannya ingin membuat sebuah masalah. Saya mempunyai masalah dengan beberapa siswa baru. Tak jarang, guru-guru mudah mengenali saya. Bukan karena segudang prestasi, namun terkenal akan segudang masalah. Saya sering dipanggil pihak BK. Nampaknya, wali kelas pun seakan-akan bosan menasihati saya. Disamping itu, saya mempunyai beberapa prestasi yang cukup dibanggakan. Saya selalu rajin mengerjakan latihan-latihan soal, lebih dulu selesai sebelum ditugaskan guru.
Hingga saya naik kelas 8 dengan predikat juara kelas, saya masih ada beberapa masalah yang harus segera diselesaikan. Sampai akhirnya saya berpikir untuk menjadi seorang Arif yang berbeda. Saya ingin menjadi lebih baik, tapi bingung ingin berbagi keluh kesah kepada siapa. Nampaknya, Bu Rita sebagai Guru BK menyadari akan kondisi saya. Beliau terus memotivasi saya untuk menjadi lebih baik. Yaa, awalnya pasti akan sangat sulit untuk diraih. Tetapi beliau tidak putus semangat untuk selalu mengajari saya dengan berbagai teladannya. All beginning is difficult. Beliau mengajari akan sebuah pendidikan konseling mengenai pohon harapan. Sebuah pendidikan konseling yang mengharuskan peserta didik membuat sebuah pohon di sebuah karton dengan berbagai harapan di dalamnya. Mulai dari akar, batang, ranting, daun, hingga buah yang mempunyai berbagai filosofi harapan. Saat itu, saya masih teringat betul akan pohon harapan saya. Di sebuah akar, saya menuliskan harapan saya "SUKA BERIMAN" sebuah filosofi berupa Smart, Unggul, Kreatif, Aktif, Berakhlakul Karimah, Inisiatif, dan Mandiri. Pada buah harapannya, saya menuliskan Impian + Iman + Ibadah + Ikhtiar + Ikhlas = IJABAH. Filosofi itu melekat pada diri saya sampat saat ini. Kemana-mana selalu saya ajarkan apa makna dari sebuah pohon harapan kepada setiap orang. Dengan harapan, ketika saya ajarkan sebuah pohon harapan, manfaatnya akan mengalir ke Bu Rita, Guru BK saya. Beliau menemukan kebiasaan baik saya dalam mengerjakan soal yang selalu lebih dulu selesai sebelum ditugaskan. Hal itu diucapkan beliau ketika sedang mengisi pelajaran konseling di depan kelas. Saat itu, saya seperti mendapat suntikan semangat yang sangat luar biasa.
Semenjak saat itu, saya aktif dalam berbagai kegiatan sekolah. Saya aktif mengikuti seleksi matematika di sekolah untuk sebuah perlombaan, aktif dalam organisasi kepramukaan, dan lain sebagainya. Hingga pada akhirnya saya terpilih menjadi seorang Pratama Pramuka dan masuk ke dalan tim olimpiade sekolah. Sontak wali kelas saya yang dulu dan beberapa guru tercengang kaget. Menggeleng-gelengkan kepala tanda tak percaya. Sesaat setelah saya dilantik menjadi pengurus organisasi, Bu Rita menghampiri saya sambil menepuk pundak seraya berkata, "Rif, Ibu bangga padamu!" Dalam hati, saya bersyukur karena berhasil menunjukkan kepada sekolah, kalau saya adalah anak yang baik, bisa beradaptasi, dan bisa mewujudkan mimpi.
Sampai pada akhirnya, saya mempunyai kesempatan kedua untuk dapat pergi ke Istanbul Turki mengikuti International Symposium. Sesaat sebelum saya berangkat, saya pergi ke sekolah MTs saya untuk bertemu dengan Bu Rita. Saya meminta doa kepada beliau sambil membahas beberapa rencana ke depan. Tak lupa, ketika saya sudah tiba di Istanbul pun kita saling berbagi motivasi. Saya meminta motivasi untuk rencana saya ke depan dan beliau meminta motivasi untuk adik-adik saya di MTs dengan dibuatkan sebuah video motivasi di Uludağ Bursa. Tempat bersalju yang saat itu suhunya -5°C.
Kemari, saya kontak kembali Bu Rita untuk membahas rencana saya berkolaborasi membuat sebuah blog. Kami pun berbincang via whatsapp selama kurang lebih setengah jam. Beliau pun meminta untuk dalam blog saya ini membahas mengenai problematika adik-adik dan guru MTs dalam menyikapi kesulitan belajar online di tengah wabah COVID-19. Saya pun mengiyakan sambil meminta beberapa syarat dalam penulisan blog ini.
Dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, pemuda memiliki peran yang vital dalam menentukan arah perjalanan bangsanya, tak terkecuali adik-adik MTsN 1 Tasikmalaya. Saat ini, peran pemuda tersebut jatuh kepada kita yang biasa disebut generasi milenial. Lalu, salah satu perubahan terbesar yang dialami oleh pemuda adalah perihal perkembangan dunia saat ini yang sudah dipengaruhi oleh keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, khususnya internet. Seiring dengan berkembangnya Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai salah satu aspek integral di kehidupan manusia, tidak bisa dipungkiri jika kemampuan operasional teknologi menjadi sebuah hal mutlak untuk dikuasai. Namun, menjadi sebuah masalah umum ketika pelajar di MTsN 1 Tasikmalaya dan beberapa sekolah yang terintegrasi dengan pesantren mempunyai sedikit problematika. Di samping masih minimnya alat penyedia informasi berupa komputer dan laptop, juga pelarangan membawa alat komunikasi berupa handphone menjadi problematika dalam mengakses sebuah informasi yang up to date. Dengan adanya wabah COVID-19 ini, Kegiatan Belajar Mengajar yang semulanya diselenggarakan di kelas, beralih menjadi sistem pendidikan daring atau online. Banyak aplikasi-aplikasi yang sering digunakan dalam Kegiatan Belajar Mengajar. Namun, dikarenakan pelarangan siswa dalam membawa alat komunikasi ke sekolah, minimnya alat informasi, masih tertanamnya pemikiran lama pengajar mengenai sistem daring, lantas efektifkah sistem Kegiatan Belajar Mengajar via daring? Dalam kesempatan ini saya akan membahas beberapa problematika tersebut menurut pandangan saya pribadi diperkuat beberapa pernyataan ahli.
Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia atau APJII pada tahun 2016, di Indonesia sebanyak 18.4% pengguna internet adalah generasi milenial. Itu artinya, pelajar MTsN 1 Tasikmalaya termasuk ke dalam bagian 18.4% tadi yang masuk pengguna internet. Namun, kebanyakan pengajar bahkan masyarakat umum terlalu fokus perihal kemampuan operasional, seperti bagaimana mengoperasionalkan komputer, handphone, dan lain sebagainya. Sehingga mereka melupakan hal yang lebih penting, yaitu kemampuan dalam mencerna informasi dan menggunakan teknologi secara positif tanpa menimbulkan kerugian bagi diri sendiri, lingkungan, dan masyarakat luas. Padahal secara teoritis, pengetahuan tentang tata cara penggunaan internet dijabarkan dalam konsep literasi digital yang sudah sejak awal diajarkan di kelas-kelas melalui pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Berkaca dari situasi di atas, saya menganalisa sebuah problematika bahwa dewasa ini, generasi milenial Indonesia khususnya pelajar MTsN 1 Tasikmalaya masih belum memiliki tingkat pemahaman literasi digital yang baik. Selanjutnya dalam tulisan ini, saya akan mencoba untuk memaparkan situasi perkembangan pendidikan literasi digital di Indonesia. Secara garis besar, saya berpendapat bahwa literasi digital adalah salah satu konsep utama yang harus disebarluaskan di kalangan generasi milenial Indonesia, dan salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menyisipkan konsep literasi digital ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia saat ini.
Selanjutnya, pendidikan literasi digital di Indonesia juga dapat dikembangkan melalui peran orang tua dan masyarakat untuk mendidik karakter generasi milenial Indonesia. Menurut saya pribadi, di tengah COVID-19 ini, orang tua bisa membantu pihak BK untuk mengajarkan pendidikan karakter di rumahnya masing-masing. Sehingga sudah dapat dipastikan bahwa sistem pembelajaran daring ini akan sukses, apabila didukung berbagai pihak. Menurut Velez, bahwa orang tua dapat mengajarkan keramahan dalam dunia cyber, serta berperan sebagai narasumber ketika anak-anak memiliki pertanyaan seputar penggunaan internet. Ini bisa menjadi pola pendekatan yang digunakan pengajar dan orang tua saat ini dalam pelaksanaan pelajaran berbasis daring di tingkat SD sampai SMA.
Berbeda halnya dengan Italia, Pemikiran semacam itu sudah diterapkan melalui kebijakan “Nati per Leggere” yang artinya lahir untuk membaca sebagai cara untuk mengejar ketertinggalan mereka di bidang penguasaan internet di kalangan negara Uni Eropa. Kini program tersebut juga diarahkan kepada kemampuan menggunakan internet yang bisa menjadi contoh sistem Kegiatan Belajar Mengajar dalam mengajarkan pendidikan karakter, termasuk pendidikan mengenai COVID-19 ini.
Menurut survei yang dilakukan tirto.id, bahwa 75% generasi milenial memiliki media sosial sebagai tempat berkomunikasi dan berekspresi. Generasi milenial menganggap media sosial sebagai dunia yang mengasyikkan. Terbukti sekitar 29% generasi milenial mengunjungi media sosial beberapa kali dalam sehari. Kemudian, sekitar 26% memeriksa paling tidak satu kali dalam sehari, 20% mengecek media sosial setiap beberapa hari, dan 25% satu kali dalam seminggu. Generasi milenial lebih menyukai informasi yang di dapat dari ponselnya, dengan mencari ke Search Engine seperti Google atau perbincangan pada forum-forum yang mereka ikuti, supaya tetap up to date. Saat ini mereka aktif dalam media sosial, seperti instagram, facebook, twitter, whatsapp, snapgram, hingga line. Dengan media sosial mereka bebas dalam berekspresi dan bebas dalam memperoleh serta menyebarkan informasi.
Untuk menerapkan tujuan pendidikan karakter tersebut, tentunya tidak bisa hanya dilakukan oleh sepihak saja. Ketika pengajar membentuk karakter pada diri anak, sedangkan di lingkungan masyarakat mereka melihat banyak nilai-nilai yang dilanggar, maka hanya ada dua kemungkinan. Mereka tetap berpegang teguh pada nilai-nilai yang telah dipelajari di sekolah atau mereka menanggalkan nilai-nilai tersebut dan mengikuti pelanggaran nilai-nilai yang terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu, untuk membentuk pribadi yang unggul dan berkarakter diperlukan kerja sama dan koordinasi antara sekolah, keluarga, dan anggota masyarakat untuk membimbing generasi milenial karena generasi milenial adalah aset bangsa.
Generasi milenial bukanlah seseorang dengan karakter yang suka diatur dengan sebuah paksaan. Semakin dipaksa maka sudah dipastikan mereka akan memberontak. Pengajar harus bisa menyikapi setiap perilaku generasi milenial dengan berperilaku bijaksana. Menurut hemat saya pribadi, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan pengajar untuk menghadapi peserta didik yang tergolong generasi milenial:
Pertama, guru harus bisa menjadi pendidik utama, berpegang teguh pada nilai-nilai yang ada di masyarakat, namun harus tetap terbuka dan memiliki pemikiran yang tidak konvensional. Generasi milenial yang sangat gandrung media sosial akan terbuka terhadap dunia luar dan lebih cepat memperoleh informasi secara bebas. Mereka lebih mengetahui dunia luar dibandingkan dengan pengajar mereka sendiri. Dalam perkembangan media sosial, tentunya dapat membawa dampak baik dan buruk. Jangan sampai peserta didik di Indonesia dididik oleh media sosial. Presiden Jokowi pun pernah menegaskan untuk meminta guru menjalankan profesi secara profetik karena pengajar adalah teladan para peserta didiknya.
Kedua, pengajar hendaknya melakukan proses pendidikan yang fleksibel dan lebih efektif dengan pikiran terbuka. Setiap pengajar pastimengakui tidak ada cara tunggal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan karakter anak. Ketersediaan buku-buku serta adanya internet memberikan kekayaan sumber daya dan perspektif yang beragam. Maka dari itu, pengajar diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada peserta didik tentang media literacy. Suatu perangkat perspektif dimana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan yang kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya (Portter, 2004). Kemampuan guru dan siswa dalam menelaah dan mengkritisi konten digital sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ketiga, pengajar hendaknya membuat peserta didik mengasah kemampuan berpikir kritis atau critical thinking skill sehingga mampu menyelesaikan problem solving. Adanya berbagai cara pandang yang muncul dalam informasi-informasi yang didapatkan, pengajar dan peserta didik dituntut untuk bisa berpikir kritis serta mampu memandang suatu masalah dari berbagai sudut pandang. Karena dunia digital, setiap orang mempunyai kebebasan yang tak terbatas dalam menyebarkan segala macam informasi, termasuk hoax, main game berlebihan, dan lain sebagainya. Ini menjadi tugas pengajar, orang tua, dan siswa untuk dapat mengenali mana konten yang bisa dipercaya untuk dijadikan rujukan dan mana konten yang sebaiknya dihindari.
Keempat, fakta di lapangan bahwa generasi milenial merupakan generasi yang sangat mengikuti perkembangan teknologi. Tentu saja pengajar juga harus melek digital atau digital literate. Sehingga, pengajar pun dituntut tidak hanya bisa memberi pelajaran, tapi juga membuat bahan ajar dan menyediakan ruang bagi siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar secara mandiri. Untuk itulah, pengajar yang melek digital sangat diperlukan oleh dunia pendidikan pada masa ini dalan menyikapi COVID-19. Misalnya dengan memanfaatkan media sosial untuk melakukan proses pendidikan. Seperti dengan memanfaatkan media pembelajaran Quipper, Ruangguru, Zoom, Classroom, dan lain sebagainya. Pengajar juga bisa menggunakan media pembelajaran seperti power point, videoscribe, prezi, dan lainnya. Di samping memberikan pengalaman baru terhadap Kegiatan Belajar Mengajar, juga akan muncul peserta didik berjiwa kreatif dan inovatif, seperti pohon harapan saya yang sudah di bahas sebelumnya. Hal ini akan sangat efektif untuk menekan dampak negatif dari penyebaran informasi melalui sosial media yang dikhawatirkan akan merusak moral generasi muda.
Keempat, fakta di lapangan bahwa generasi milenial merupakan generasi yang sangat mengikuti perkembangan teknologi. Tentu saja pengajar juga harus melek digital atau digital literate. Sehingga, pengajar pun dituntut tidak hanya bisa memberi pelajaran, tapi juga membuat bahan ajar dan menyediakan ruang bagi siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar secara mandiri. Untuk itulah, pengajar yang melek digital sangat diperlukan oleh dunia pendidikan pada masa ini dalan menyikapi COVID-19. Misalnya dengan memanfaatkan media sosial untuk melakukan proses pendidikan. Seperti dengan memanfaatkan media pembelajaran Quipper, Ruangguru, Zoom, Classroom, dan lain sebagainya. Pengajar juga bisa menggunakan media pembelajaran seperti power point, videoscribe, prezi, dan lainnya. Di samping memberikan pengalaman baru terhadap Kegiatan Belajar Mengajar, juga akan muncul peserta didik berjiwa kreatif dan inovatif, seperti pohon harapan saya yang sudah di bahas sebelumnya. Hal ini akan sangat efektif untuk menekan dampak negatif dari penyebaran informasi melalui sosial media yang dikhawatirkan akan merusak moral generasi muda.
Kelima, pengajar hendaknya melakukan pendekatan dengan mengutamakan pendekatan yang toleran dan peka terhadap peserta didik. Pengajar juga diharapkan dapat memberikan peserta didik ruang yang mereka butuhkan untuk belajar serta tumbuh secara mandiri. Pelajar hanya sebagai fasilitator dan siswa harus melakukan pembelajaran mandiri. Tetapi dalam hal ini, pengajar tidak lepas tanggungjawab dalam mendidik dan selalu mengawasi perilaku peserta didik. Sehingga ketika terjadi perilaku menyimpang, pengajar dapat mengambil tindakan.
Koordinasi antara pihak-pihak tersebut sangat diperlukan agar pendidikan karakter yang dilakukan dapat efektif. Hal ini akan menimbulkan masing-masing lingkungan pendidikan mulai keluarga, sekolah, dan masyarakat tidak bekerja sendiri. Prinsip lepas tanggung jawab harus sangat dihindarkan. Seperti prinsip ketika anak berada di sekolah, maka itu hanya menjadi tanggung jawab pengajar, ketika anak melakukan pelanggaran di luar sekolah menurut pendidik itu bukan merupakan tanggung jawabnya, karena dilakukan usai jam pelajaran di sekolah.
Bagaimana pendidikan karakter diterapkan tidak hanya di sekolah, tetapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga peserta didik bukan dipaksa untuk melakukan kebaikan karena sebuah sistem, tapi sesuai dengan hati dan akan menjadi kebiasaan yang baik sehingga pendidikan di Indonesia menjadi berkualitas. Perlu diingat bahwa untuk mengubah ataupun membentuk sistem nilai pada diri anak dibutuhkan sebuah proses. Tidak bisa secara instan kita bentuk karakter tersebut. Oleh sebab itu, baik orang tua, pengajar di sekolah maupun masyarakat luas perlu kesabaran dan upaya ekstra dalam membentuk pribadi yang berkarakter pada generasi milenial.
Komentar
Posting Komentar