Langsung ke konten utama

Menolak Lupa : 17 April 2019

Tulisan kali ini tidak akan membahas dunia perpolitikan pada tanggal 17 April 2019 lalu. Jadi, bagi para pendukung calon A maupun B, yuk baca terlebih dahulu tulisan gue! Siapa tau aja bermanfaat. Tenang, sekali lagi tulisan ini tidak akan membahas pemilu serentak, kok!

Hati yang sedang berbunga-bunga acap kali selalu lupa. Bahwa yang katanya seorang pendamping hidup yang hadir dalam kehidupan, tak serta merta menawarkan kebahagiaan. Terkadang ia hadir sebagai cobaan atau sebagai ancaman. Terkadang ia hadir sebagai penghapus luka, terkadang pula hanya menjadi penghibur di saat penat.

Saat itu, tepat 17 April 2019, gue pulang ke kampung halaman untuk melakukan pemilu serentak. Gue pun berangkat ke TPS jam 10 pagi. Di TPS, gue bertemu rekan-rekan gue ber-kwartet. Masih ingat cerita ber-kwartet kami? Cek di tulisan sebelumnya, ya! Di sana, gue ber-kwartet membahas perihal kandidat calon yang akan kita pilih. Entah pilih A maupun B, engga akan dibahas di tulisan kali ini. Setelah itu, seperti biasa panggilan satu per satu pemilih untuk menentukan pilihannya di bilik suara. Mulai dari gue, Ong, Padem, dan terakhir Bajang.

Tepat pukul 12, gue ber-kwartet merasa bosen mau ngapain. Masa iya lagi pemilu kudu tawuran? Wkwk. Engga banget, deh! Ide pun terlontar dari Ong, "Gimana kalau kita ngejam?" ucap Ong sambil memperagakan memukul drum sebagai drummer. Perlu diketahui, ngejam merupakan istilah bermain musik atau band di studio musik di daerah gue. Entah namanya kalau bermain musik di studio di daerah kalian. Kita pun sempat membahas mengenai rencana ngejam tersebut. Sekalian mengenang kebiasaan kita dulu bermain musik dan mengingat kembali kunci lagu yang biasa kita mainkan. Alhasil, kita sepakat untuk ngejam di studio musik deket rumah gue dengan biaya sewa sekitar 20 ribu rupiah per jam. Untuk biaya sewa darimana? Seperti biasa, ketiga temen gue otomatis lirik gue sambil mengedip-ngedipkan mata. Gue pun langsung mengernyitkan dahi sembari berpikir kalo mereka pengen dibayarin wkwk. Akhirnya kami pun berangkat menuju tempat studio musik untuk ngejam.

Di tengah perjalanan, hp gue bunyi, pertanda ada notifikasi masuk ke hp. Setelah gue cek, ternyata ada notifikasi whatsapp dari Novi, pacar gue. Isi pesannya kurang lebih seperti ini, "Rif, Uzi ngajak nonton bioskop, nih. Boleh engga?" Gue pun agak sedikit bingung perihal siapa sosok Uzi sebenarnya. Akhirnya gue telusuri siapa seorang Uzi. Setelah gue telusuri, ternyata Uzi merupakan seorang lelaki seangkatan sama gue, sesekolah sama gue, tapi beda jurusan. Anehnya, kenapa mesti ngajak nonton Novi pacar gue? Setelah gue keluarin sedikit trik untuk meretas hp Novi, akhirnya gue tau kenapa Uzi ngajak Novi nonton bioskop. Di riwayat panggilan Novi, nampak beberapa riwayat panggilan bareng Uzi, bahkan ada beberapa video call. Gue pun saat itu positive thinking aja, mungkin ada kebutuhan mendesak. Temen-temen gue pun engga gue kasih tau kejadian ini. Gue pun ngizinin Novi buat nonton bareng Uzi dengan beberapa syarat.

Gue pikir, biarkan Novi pergi bersama keputusannya. Karena bagaimana pun hidupnya belum menjadi hak gue seutuhnya. Jangan memaksakan keadaan agar ia tetap ada, karena hatinya sendiri yang tak ingin lagi untuk bersama. Gue hanya perlu menyadari, setiap orang butuh jeda. Setiap orang butuh waktu untuk mengkualitaskan dirinya. Setiap orang butuh tumbuh dengan yang menurutnya lebih tepat tentunya. Jangan egois sama perasaan sendiri. Hanya karena tak ingin disakiti. Bukankah sudah ditekankan sedari awal, yang datang tak selalu menjadi akhir dari perjalanan? Justru terkadang yang pergi adalah awal langkah untuk gue melakukan banyak perubahan. Acap kali kita sering lupa menelisik hikmah untuk apa kepergian diperlihatkan di awal tapi masih saja dengan bodoh diperjuangkan?

Gue pun kembali meneruskan perjalanan menuju studio musik untuk ngejam. Gue daftar ke petugas yang berjaga dan membayar 20 ribu rupiah buat nyewa studionya. Lagu demi lagu kami mainkan sebagai pengingat bahwa kami pernah berjaya di dunia musik pada zamannya wkwk. Gue sebagai drummer, Ong sebagai bassis, Bajang sebagai gitaris, dan Padem sebagai vokalis. Tapi, gue selalu aja jadi titik kemarahan mereka selama ngejam. Gue selalu ngelamun. Gue selalu telat masuk ke lagu ketika menjadi drummer. Kadang suka engga sengaja malah keinjek sendiri drumnya. Sampai pada akhirnya gue jujur ke temen-temen kalo gue kepikiran sama Novi. Gue khawatir takut terjadi apa-apa sama Novi. Hingga waktu sewa buat ngejam habis, gue masih kepikiran Novi.

Pukul 1 siang, gue diskusi bareng ber-kwartet supaya mereka mau antar gue buat pergi ke rumah Novi. Gue khawatir sama dia. Gue beralasan karena mumpung engga ada polisi di jalan, karena sedang fokus pemilu. Karena saat itu motor kami bodong dan engga bawa helm. Jangan ditiru, ya! Tapi, Bajang mengelak dengan alasan jaraknya sangat jauh. Perlu diketahui, jarak rumah gue ke rumah Novi saat itu sekitar 3 jam perjalanan. Padem pun menambahkan kalo semisal kita berangkat, kita akan pulang malam hari. Dimana jalanan dalam kondisi gelap dan motor kita engga ada lampunya. Ong pun menambahkan kalau dia telat pulang ke rumah, ayah ibunya selalu khawatir dan mencarinya sampai ketemu.

Tapi, gue engga kehilangan ide. Gue blak-blakkan ke mereka kalo gue pengen ke rumah Novi. Sampai terlontar kalimat, "Lu dari dulu gue anter buat apel ke rumah pacar masing-masing, ongkosnya dari gue. Sekarang, giliran gue minta anter, lu malah engga mau! Gue minta bantuan lu, satu kali ini aja. Ya, itung-itung gue satu kaliin aja, sekalinya apel ke rumah pacar gue, engga tanggung-tanggung 3 jam perjalanan," ucap gue agak sedikit ketus.

Akhirnya, kami ber-kwartet pun berangkat menuju rumah Novi selama 3 jam perjalanan. Jalanan sangat sepi karena masyarakat fokus melakukan pemilu. Engga ada polisi yang berjaga. Hp pun gue matiin berjaga-jaga biar engga habis baterai. Jam menunjukkan pukul 5 tepat, gue bersama rombongan udah sampai di depan rumah Novi. Gue pun langsung mengaktifkan hp. Setelah gue aktifkan, nampak beberapa chat bahkan panggilan tak terjawab dari Novi. Mungkin khawatir atau takut gue marah karena udah nonton bareng Uzi. Gue pun telepon balik Novi, berharap diangkat. Setelah dia angkat, gue langsung bilang, "Buka pintu rumah, gue udah di depan!" Tapi, jawaban Novi sangat menyakitkan. Dia bilang kalo dia bersama keluarganya mau ke tempat service hp terlebih dahulu karena hpnya ada sedikit gangguan. Tak lama berselang, Novi bersama keluarganya pun keluar dari rumahnya. Gue yang udah berdiri di depan rumahnya pun engga ia hiraukan. Gue yang udah capek-capek melakukan perjalanan kurang lebih 3 jam, eh malah tanggapannya seperti itu. Cuek bebek.

Akhirnya, gue bilang ke temen gue buat nunggu beberapa jam, berharap Novi segera kembali. Ong pun semakin gelisah takut orang tuanya mencarinya karena sebelumnya engga izin. Padem menganjurkan buat kembali lagi ke rumah masing-masing takut kemalaman. Karena gue engga mau pulang dengan tangan hampa, gue coba meyakinkan mereka kembali. Gue traktir mereka siomay untuk sekadar mengganjal perut. Karena dari pagi sampai sore hari belum makan makanan berat. Sembari menunggu, ada seorang ibu berjalan menghampiri gue, meminta bantuan. Setelah gue tanya, ternyata dia mau pergi ke suatu tempat, gue lupa nama tempatnya apa. Tapi kebingunan cari transportasi, karena waktu sudah sore menuju malam. Gue pun putuskan buat pesan transportasi online via aplikasi sesuai alamat tujuan. Akhirnya transportasi online pun datang dan gue bayar totalnya. Karena pada saat itu, ibu tersebut terlihat kebingungan. Jam di hp gue udah menunjukkan pukul 7 malam, baru muncul notifikasi pesan dari Novi. Ia berpesan buat nunggu beberapa menit lagi, karena udah mau pulang kembali menuju rumah.

Tak lama berselang, Novi keluar dari mobil. Gue pun langsung menghampirinya. Bingung mau bahas apa, ngobrol dimana, dan gue masih kepikiran akan kejadian tadi siang perihal diajak nonton bioskop sama Uzi. Karena temen-temen gue udah kelaparan menunggu seorang Novi berjam-jam, akhirnya gue putuskan buat ngobrol di Rumah Makan Padang tepat di seberang rumahnya. Ong, Padem, dan Bajang pun makan sangat lahap dengan gue yang bayarin mereka, sebagai tanda terima kasih buat mereka karena udah mau antar sejauh ini wkwk. Bajang dan Padem pun meminta nambah porsinya karena mungkin kelaparan dari pagi belum makan. Sedangkan gue sama Novi engga makan, padahal saat itu gue bener-bener lapar tapi gue tahan. Gue sengaja engga makan karena pengen ngobrol bareng Novi tentang kejadian tadi siang. Gue tanya nonton bioskopnya siapa yang bayarin, ternyata masing-masing. Sontak gue senyum jahat sembari ngobrol ngalor-ngidul. Setelah gue telusuri seorang Uzi ini, nampaknya ia punya perasaan suka terhadap pacar gue, Novi.

Setelah disakiti baiknya gue lebih berhati-hati. Tak lagi sembarang menerima apa adanya seseorang, hanya karena alasan-alasan yang selalu dibenarkan. Karena menyembuhkan luka, tak melulu harus mencari penggantinya. Padahal jika gue telisik lebih dalam, buat apa gue perjuangin sejauh ini? Setelah patah yang bertambah-tambah, tak ada cara lain selain jatuh dan terus jatuh selanjutnya. Memaknai cinta yang sebenarnya. Memahami takdir kehilangan sebelumnya. Bukan lagi mencari pembenaran, bahwa dikecewakan harus kembali menemukan seseorang dalam waktu yang sebentar. Perlurus niat gue dalam merelakan. Perbaiki hati gue dalam mengikhlaskan. Meski ia telah berjalan dengan yang lainnya. Bukan berarti juga gue harus melakukan hal yang sama. Lantas, di mana lagi letak keelegenan lu dalam menjaga cinta? Jika ia masih melakukan cara yang sama. Seharusnya gue tunjukkan kualitas rasa dengan proses yang berbeda. Tentunya lebih terjaga dan dengan cara-cara yang istimewa. Cinta tak selalu harus memiliki rupa saat ini juga. Gue juga harus lebih dulu mawas diri, bahwa seseorang yang mendekat tak selalu menetap. Kalimat ini sudah seharusnya menjadi benteng diri setelah pembelajaran hidup sebelumnya dalam hal mencintai.

Kalau pun ada yang mendekat, jangan dulu terlalu senang, sebelum ia memperjuangkan lu dengan cara yang benar. Karena keelegenan dalam mencinta sangat perlu lu tanamkan dalam langkah selanjutnya. Perasaan bukanlah kuasa kita mengaturnya, baiknya biarkan dia pergi. Tak usah terlalu kau tahan hanya karena alasan gue masih sayang. Tanpa gue sadari, dia begitu karena sudah jenuh dengan keadaan. Entah itu karena hatinya sudah menetap di hati yang lain. Entah itu karena ia benar merasa bosan. Lepaskan saja, bila ia tak lagi mau ditahan. Untuk apa gue melakukannya, karena gue hanya akan dipenuhi luka dan kecewa. Jangan paksa dia tetap tinggal, karena itu hanya akan melukai gue terlalu dalam. Bukankah dengan itu sudah cukup menyakitkan? Untuk apa lagi gue tahan? Tapi, sampai saat ini gue engga bisa melakukannya. Tetep aja ada perasaan suka, meski sudah dihantam luka olehnya. Ah, lupakanlah. Gue masih enggan berpisah darinya. 

Jam menunjukkan pukul 10 malam, cuaca mulai mendung disertai petir. Kami ber-kwartet bingung antara pulang ke rumah atau tinggal di sini. Kalo kita pulang, otomatis kita bakalan sampai rumah larut malam. Tapi, kalo kita tinggal di sini, orang tua Ong pasti mencari kita. Gue pun sempet berdiskusi bareng Novi perihal antara harus pulang maupun engga. Gue coba kontak temen gue, tapi jarak dia ke lokasi gue saat ini sangat jauh. Novi pun menyarankan untuk menginap di rumah Iki, temen gue di sekolah. Tapi gue menolak dengan alasan gue engga mau tinggal bareng temen yang udah menghasut pacar gue, Novi. Gue tau Iki ini temennya sejak SD sampai saat ini. Iki pun pernah membantu temannya untuk dekat dengan Novi, padahal saat itu Novi dan gue masih jadian. Mungkin pembahasan tentang cerita Iki bantu temennya deketin Novi akan gue bahas di cerita selanjutnya.

Kami ber-kwartet pun memutuskan untuk kembali ke rumah dengan harus menempuh perjalanan sekitar 3 jam. Karena motor kami engga ada lampunya dan jalanan dipastikan sangat gelap, gue putuskan buat pinjem senter milik Novi. Novi pun izin untuk pulang ke rumahnya mengambil senter. Setelah gue tunggu beberapa saat, Novi pun menghampiri gue sambil menyodorkan sebuah senter. Kami berempat sontak terkejut dan saling lirik menahan tawa. Bagaimana tidak, senter yang kami bayangkan akan besar dan sangat terang, malah sebaliknya. Sebuah senter kecil dengan terkadang nyala padam, Novi sodorkan. Gue sebagai pacarnya, engga mau dong mengecewakan Novi. Akhirnya gue putuskan mengambil senter tersebut. Kami pun bergegas pulang dan Novi pun telah kembali ke rumahnya.

Kami pun menghampiri motor kami untuk selanjutnya berangkat pulang. Namun, ada masalah menghampiri motor kami, kunci motor Padem patah! Alhasil kami pun sontak panik dan tak tau apa yang harus dilakukan. Sempat melakukan pencarian ke Google mengenai bagaimana cara memperbaiki kunci motor yang patah, sempat telepon sana sini, dan lain sebagainya. Bajang pun dengan tenangnya memperbaiki kunci motor Padem karena dia sudah terbiasa menangani masalah dalam dunia teknik otomotif, karena dia seorang pelajar SMK jurusan teknik otomotif. Kami pun beranjak pergi meninggalkan rumah Novi.

Selama perjalanan, langit sangat gelap sekali. Lampu penerangan jalan sangat minim. Dan tak terasa hujan pun turun disertai petir. Kami pun hanya sekadar mengikuti mobil truk untuk sedikit menghangatkan tubuh di tengah dinginnya udara malam disertai hujan. Mengikuti truk untuk diberikan sedikit pencahayaan melihat jalanan. Tapi, tiba-tiba terdengar sedikit ledakan pada motor Ong. Ternyata bannya bocor. Kami pun dengan solid terpaksa mendorong motor Ong, sembari mencari bengkel terdekat yang masih buka karena pada saat itu jam menunjukkan pukul 11. Kami mendorong motor sekitar 15 menit sebelum pada akhirnya kami menemukan bengkel yang masih buka. Kami pun menghampiri bengkel tersebut untuk memperbaiki ban motor Ong sembari memasang lampu sederhana di motornya. Ong pun nampak sedikit khawatir akan orang tuanya. Akhirnya dia putuskan untuk cek hpnya. Ternyata, terdapat beberapa panggilan tidak terjawab dari orang tuanya. Ia pun menelepon kembali dan terjadilah percakapan antara ibu dan anak. Setelah berbincang-bincang, ternyata ibu Ong sedang menunggu di rumah gue sejak pukul 9 malam menunggu anaknya ada kabar. Alhasil orang tua gue pun jadi tau, kalo anaknya sedang main ke rumah pacarnya. Hadeuhhh. Akhirnya, ibu Ong pun memutuskan untuk menginap di rumah gue karena tidak memungkinkan untuk pulang. Setelah service motor sudah selesai, kami melanjutkan perjalanan.

Kami sudah tiba di daerah Tasik. Tapi, gue malah dibawa ke sebuah jalanan yang sangat sepi. Jalannya kecil sekali. Gue engga tau daerahnya apa, karena saat itu udah gelap sekali. Ternyata, Bajang dan Padem meradang ke gue buat minta dibeliin minuman keras. Sontak gue kaget, gue pun engga mau turun dari motor. Bajang dan Padem pun agak sedikit ngambek ke Gue sama Ong. Mereka pun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Gue sama Ong pun kebingungan antara harus pulang maupun tinggal di kost terlebih dahulu. Terlebih jarak lokasi gue ke rumah sekitar 1 jam lagi dan jam menunjukkan pukul 2 malam. Gue pun memutuskan buat menginap di kostan temen gue, Epul. Gue sama Ong berangkat ke kostannya. Setelah gue sampai di depan kostannya, gue gedor-gedor kostan Epul berharap Epul terbangun. Beberapa saat, pintu pun terbuka dan Epul keluar dari kostan. Kami pun menjelaskan alasan kami untuk menginap dan Epul pun mengizinkan.

Gue sama Ong pun meminjam baju milik Epul untuk dipakai. Karena baju kami sudah basah kuyup kehujanan. Tapi, perut gue keroncongan karena belum makan dari pagi. Sebenernya pengen makan di Rumah Makan Padang tadi, tapi gue engga sreg aja bawaannya. Gue putuskan buat nyuruh Epul sama Ong beli makanan. Mereka pun berangkat membeli nasi goreng deket kostannya. Setelat beberapa saat, Epul dan Ong kembali ke kostan sambil membawa pesanan nasi goreng gue sama plastik hitam yang entah apa isinya. Gue pun dengan lahap memakan nasi goreng, sedangkan mereka sibuk menyiapkan gelas untuk memasukkan minuman dalam plastik hitam tersebut. Gue penasaran akan minuman dalam plastik hitam, dan gue coba tanyakan ke mereka. Mereka engga jawab pertanyaan gue. Gue pun memutuskan untuk mengambil sedikit minuman tersebut, dan menciumnya. Setelah gue cium, beuhhh baunya seperti air kelapa basi! Gue yakin ini minuman engga bener nih. Pasti bisa bikin memabukkan. Tapi, yaa mana bisa gue larang mereka. Engga bakalan dihiraukan! Toh, mereka juga udah terlanjur meminumnya. Gue pun kembali melanjutkan makan nasi goreng.

Dari cerita di atas, gue mengambil beberapa pelajaran. Entah bagaimana akhirnya kita harus saling menyadari. Bahwa yang menyakiti tak lagi pantas kita beri hak huni. Bersemayam di hati yang paling tulus, meski sebelumnya telah dibubuhi luka terus menerus. Namun, gue masih saja setia melanjutkan cerita yang seharusnya gue akhiri saja. Kata berhenti seolah tak pernah ada di benak gue, meski dia telah berkali-kali menghunuskan duri ke hati gue. Entah harus dengan cara apa agar kau berhenti dari apa yang telah gue perjuangkan selama ini. Sudah begitu banyak pengorbanan yang gue berikan, namun tak pernah dihargai apalagi mendapat apresiasi. Sebenarnya gue menyadari, semuanya sungguh menyakiti.

Alasan gue lagi-lagi karena cinta. Kalau cinta sah-sah saja, tapi gue juga perlu melihat realitanya. Berhenti berdalih atas apapun, karena cinta bukan untuk melukai siapapun. Cinta itu saling memperjuangkan bukan salah satu merasa kesakitan. Setidaknya gue buka sedikit mata gue, bahwa yang di depan gue tak lagi mengharapkan. Sudah saatnya gue merelakannya. Ada yang lebih pantas mendapatkan cinta tulus yang apa adanya. Bertahan pada cinta yang salah, justru akan membuat keadaan hati semakin parah. Apalagi dia tak mengetahui bahwa gue sedang tersakiti. Memang benar, adakalanya kita memilih bertahan untuk memperjuangkan. Namun, yang gue pilih ini bukan bertahan pada cinta, justru gue bertahan pada luka demi luka.

Adakalanya gue harus lebih mencintai diri sendiri. Hati yang harus lebih gue jaga dengan semestinya. Tak membiarkan ia terluka dengan begitu mudahnya. Tak mengorbankan kebahagiaan yang mestinya gue rasakan. Jika gue memilih pergi sejak lama. Pastilah hari ini yang meruas di wajah hanya tawa dan bahagia. Karena bahagia bukan untuk mencari pembenaran atas apa yang telah diperjuangkan. Karena bahagia itu kita sendiri yang menciptakan.

Jangan protes dan jangan interupsi! Karena aku, ingin semua orang tahu bagaimana seorang kamu dalam sudut pandangku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Percakapan Pendidikan Karakter antara Guru dan Murid

Seorang ibu adalah pendidik pertama dan terutama anak. Bagaimana mungkin anaknya bisa terdidik, jika ibunya tidak terdidik? RA Kartini 1902 Setiap Malam Jumat, di daerah saya rutin mengadakan pengajian mingguan yang bertempat di sebuah Masjid. Malam Jumat kemari, saya mendapat pengalaman yang sangat luar biasa. Dimana penceramahnya berasal dari pimpinan sebuah pondok pesantren di daerah saya. Masyarakat pun duduk berjejer rapi sambil mendengarkan dengan khusyu apa yang disampaikan penceramah tersebut, tak terkecuali dengan saya. Saya mendengarkan dengan seksama apa yang disampaikan penceramah sambil sesekali mengangguk-ngangguk tanda mengerti. Karena sebelumnya saya pernah belajar di sebuah pondok pesantren. Tepat di samping saya, terdapat seorang pemuda pengurus masjid tersebut. Beliau aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, seperti ceramah, khotbah, pengajian ibu-ibu, dan lain sebagainya. Pemuda tersebut merupakan seorang santri lulusan pondok pesantren milik sang penceramah.

Semua Berawal dari Gemercik

Semakin banyak gue membaca, semakin kuat pula keinginan untuk menulis, dan berkarya tanpa batas. Teruslah menulis! Tetapi jangan sesekali mencoba untuk membebani diri gue sendiri dengan tulisan-tulisan yang akan gue anggap sangat bagus. Karena saat seorang pemula mulai menulis, gue terkadang membebani diri gue sendiri hanya untuk menulis sesuatu yang dianggap akan sangat menarik untuk dibaca. Oleh karena itu, saat orang-orang tak tertarik akan karya tulis tersebut, terkadang gue berhenti di tengah jalan. Jadilah penulis pemula yang sangat yakin dengan tulisan-tulisan jeleknya, tetapi tetap istiqomah untuk selalu berkarya! Menjadi penulis bukan pilihan gue pada awalnya. Tidak memiliki latar belakang organisasi Karya Ilmiah Remaja sebelumnya, jurnalis kampus, apalagi kuliah di jurusan sastra Indonesia. Memang tak ada kaitannya sama sekali dengan pendidikan di Madrasah Aliyah yang mayoritas pelajaran agama dan umum semata. Bersahabat dengan matematika, fisika, biologi, pramuka, dan

Mahasiswa Sistem Informasi UISI Terpilih Mengikuti Magang Bersertifikat Posisi HR Generalist dan Performance Management System di Hasnur Centre Kalimantan Selatan

Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) merupakan program Kemendikbudristek yang memberikan pengalaman selama satu semester kepada mahasiswa dalam mengasah kemampuan dan pengetahuannya di berbagai dunia industri mitra secara langsung, salah satunya mitra Hasnur Centre. Hasnur Centre merupakan  Corporate Social Responsibility  dari Hasnur Group yang berlokasi di Kalimantan Selatan. Hasnur Centre mengusung konsep  Innovation Learning Internship  dengan memadukan konsep utama antara  On the Job Training  dan  Working Learning Internship . Hasnur Centre mengedepankan proses pembelajaran dan pembekalan persiapan masuk dunia industri secara kolaborasi dan kerjasama lintas posisi dan lintas unit. Pada MSIB  Batch  4, Hasnur Centre membuka 21 posisi dan menerima 192 mahasiswa magang dari 71 perguruan tinggi seluruh Indonesia. Adapun Arif Muhammad Iqbal dari Sistem Informasi Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI) terpilih mengikuti magang bersertifikat di Hasnur Centre posisi